Indonesianews.id: Wacana pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) semakin menguat, dipicu oleh dugaan pelanggaran konstitusional yang mencakup isu seperti nepotisme di Mahkamah Konstitusi dan intervensi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, sejauh mana kemungkinan pemakzulan tersebut dapat terjadi menjadi sorotan.
Arga Pribadi Imawan, seorang dosen Ilmu Politik di Universitas Gadjah Mada (UGM), menyoroti suatu pertanyaan krusial yang sering terabaikan dalam wacana pemakzulan Jokowi. “Bagi saya ada salah satu pertanyaan kunci yang seharusnya menjadi renungan publik, yaitu ‘mengapa sekarang?'” ungkapnya pada Rabu, 17 Januari 2024.
Arga menyampaikan keprihatinannya terhadap gerakan Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat, yang menurutnya agak terlambat dalam merespons wacana pemakzulan tersebut. “Karena dengan putusan MK, nepotisme MK, kemudian intervensi KPK itu sebetulnya sudah menjadi tanda tanya besar,” kata Arga. Ia juga menyoroti bahwa kelambatan respons ini mencerminkan perbedaan pendapat di antara aktivis sebelumnya.
Lebih lanjut, Arga mengaitkan wacana pemakzulan Jokowi dengan situasi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada masa itu, terdapat usulan pemakzulan terhadap SBY dan Boediono karena terlibat dalam kasus korupsi Bank Century menjelang akhir masa jabatan pertama SBY. Menurut Arga, situasinya saat ini memiliki paralel yang cukup signifikan. “Ini sama, menjelang akhir. Menurut saya ini suatu hal yang lumrah karena bagaimanapun itu 10 tahun berkuasa juga menunjukkan power yang begitu kuat,” tuturnya.
Namun, Arga melihat bahwa kontestasi politik saat ini didominasi oleh kekuatan elite partai. “Kemudian kontestasi menunjukkan bahwa tidak terlalu kuat dalam akar rumput, tetapi di elit makin kuat,” tambahnya.
Meskipun wacana pemakzulan semakin ramai, Arga meramalkan bahwa peluang pemakzulan Jokowi sulit terwujud. Hal ini terkait dengan proses pemakzulan yang diatur dalam UUD 1945. “Kalau melihat probabilitas, dengan masa pemilu yang sangat pendek dan proses yang panjang, menurut saya pemakzulan agak sulit terwujud,” ujar Arga. Alasan lain yang diungkapkannya adalah dominasi koalisi pendukung Jokowi di dalam DPR, termasuk kerjasama dengan partai oposisi. “Jadi, kondisi pemakzulan melalui DPR akan sulit kemungkinannya,” tambah Arga.
Terlepas dari itu, Arga berharap agar pemilih pada Pemilu 2024 dapat menjadi lebih cerdas dalam memilih informasi. “Urgensi pemilu adalah bagaimana pemilih harus cerdas melihat sosok di balik calon-calon presiden,” tegasnya. Selain itu, ia juga mengajak pemilih muda untuk lebih peduli terhadap pengawasan kinerja eksekutif dan legislatif, mengingat hasil survei yang menunjukkan ketidakpedulian pemilih muda terhadap hal tersebut. “Pemilih muda cenderung acuh tak acuh dengan pengawasan kinerja eksekutif dan legislatif, itu yang menjadi pekerjaan rumah penting kita,” papar Arga.
Sebelumnya, isu pemakzulan Jokowi pertama kali diusung oleh politikus PKS, Mardani Ali Sera. Ia membuka opsi pemakzulan Jokowi jika campur tangan dalam Pilpres 2024 terbukti. Seratus tokoh yang tergabung dalam Petisi 100 kemudian menyuarakan hal yang serupa, merespons dugaan penyalahgunaan konstitusi.
Isu penurunan jabatan kepala negara itu menimbulkan pro dan kontra. Sejumlah pejabat negara dan politikus pun ikut buka suara mengenai wacana tersebut. Salah satunya adalah Menko Polhukam, Mahfud MD, yang mengatakan bahwa upaya itu mustahil dilakukan karena mengingat pemakzulan memerlukan waktu lebih dari satu bulan.
“Pemilu sudah kurang 30 hari. (Pendakwaan) di tingkat DPR aja tidak bakal selesai untuk mencari sepertiga (anggota) DPR yang memakzulkan, belum lagi sidangnya (di MK),” kata Mahfud usai hadir pada forum ‘Tabrak Prof’ di STK Ngagel, Surabaya, Rabu malam.
Sementara itu, Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana mengatakan isu mengenai pemakzulan Presiden Jokowi adalah mimpi politik. Istana menerima kritik terhadap Presiden, namun mengingatkan ada pihak yang mengambil kesempatan menjelang Pemilu 2024. Dalam negara demokrasi, kata Ari, menyampaikan pendapat, kritik atau bahkan mimpi-mimpi politik adalah sah-sah saja.
“Apalagi saat ini kita tengah memasuki tahun politik, pasti ada saja pihak-pihak yang mengambil kesempatan gunakan narasi pemakzulan presiden untuk kepentingan politik elektoral,” kata Ari Jumat, 12 Januari 2024. Akademisi Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo atau Jokowi sudah memenuhi unsur konstitusi. Feri menyebut presiden secara kasat mata terlibat dalam upaya pemenangan pasangan Prabowo Subianto dan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka pada pemilihan presiden 2024.
“Seluruh konteks dan unsur-unsur pemakzulan sudah terpenuhi,” kata Feri saat ditemui di Kawasan Pos Blok, Jakarta Pusat, Sabtu, 18 November 2024. Situasi itulah yang membuat Feri sulit berharap pemilihan umum (Pemilu) 2024 berjalan sesuai semangat konstitusi, yaitu Pemilu bersih dan mandiri.
Menurut Feri, keterlibatan aparat kepolisian, skandal bekas Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga adik ipar Presiden Jokowi, pemanggilan para menteri, pembiaran kampanye di luar jadwal, dan pemanggilan pejabat daerah sudah bisa menjadi bukti konkret.
Selain itu, tindakan Presiden Jokowi yang mengatakan anaknya Gibran Rakabuming Raka tidak akan masuk politik, tetapi malah menjadi Wali Kota dan sekarang calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto bisa dijadikan bukti juga.
“Pilihannya keberanian politisi (di parlemen) menegakkan konstitusi dan berhadapan dengan rezim totalitarian Jokowi,” kata Feri.
Menurut Feri, pemakzulan presiden bisa diposisikan sebagai upaya politis. Feri mengutip dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2015 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada 79, 199, dan 200. Adapun, pasal 200 berbunyi, “Hak Angket yang dimaksud dalam pasal 79 ayat (1) huruf b diusulkan paling sedikit 25 orang anggota DPR dan lebih satu 1 fraksi.”
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan ide pemakzulan terhadap Presiden Jokowi adalah upaya bagus. “Peluang pemakzulan sangat layak dilanjutkan,” kata Bivitri Kamis, 2 November 2023. “Dengan pengawasan yang sangat serius.”
Menurut Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera itu, Dewan Perwakilan Rakyat bisa segera menggunakan hak angket dan interpelasi. Hak itu dimiliki DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kendati demikian, upaya pemakzulan itu, menurut Bivitri, ada proses yang diatur dalam UU, terutama bukti yang konkret dan dinyatakan secara terbuka oleh presiden Jokowi sebagai alasan pemakzulan.
Dalam peluang ini, kata Bivitri, DPR bisa menggunakan alasan salah satunya seperti pernyataan presiden Jokowi yang menggunakan lembaga negara, seperti Badan Intelijen Negara untuk memantau partai-partai politik, seperti yang Jokowi katakan pada September lalu
“Isunya harus riil, bisa dibuktikan, dan erat kaitannya dengan Jokowi sendiri sebagai presiden,” kata dia. (RED/MFA)