KPK Ultimatum Saksi Kasus Dugaan Korupsi Kuota Haji yang Tidak Kooperatif

Berita51 Dilihat

INDONESIANEWS.ID: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengultimatum saksi kasus dugaan korupsi kota haji di Kementerian Agama (Kemenag) 2023-2024, yang tidak kooperatif untuk memenuhi panggilan. KPK menyinggung adanya kewenangan untuk melakukan upaya paksa terhadap saksi-saksi.

“Mengingat KPK punya kewenangan untuk melakukan upaya paksa pada tahap penyidikan, seperti tindakan pencegahan ke luar negeri kepada pihak-pihak yang keberadaannya dibutuhkan untuk tetap di Indonesia, guna memberikan keterangan-keterangan yang dibutuhkan oleh penyidik,” kata jubir KPK Budi Prasetyo dalam keterangan tertulis, Kamis (2/10/2025).

Hal ini disampaikan oleh Budi usai KPK memanggil tujuh saksi untuk diperiksa pada Rabu (1/10/2025) lalu. Namun, dua saksi di antaranya tidak menghadiri pemanggilan.

Budi menyebutkan saksi yang hadir yaitu Ketua Umum Amphuri, Firman M. Nur; Ketua Umum Himpuh, M. Firman Taufik; Ketua Umum Sapuhi, Syam Resfisdi.

Kemudian, Komisaris PT Ebad Al-Rahman Wisata dan Direktur PT Diva Mabruro, Amaluddin; dan Sekretaris Jenderal Mutiara Haji, Luthfi Abdul Jabbar.

Sementara itu, dua saksi yang tidak menghadiri panggilan adalah Ketua Umum Kesthuri, Asrul Aziz Taba, dan Ketua Harian Bersathu, Muhammad Farid Al-jawi.

Budi juga menjelaskan, penyidik mendalami soal mekanisme pembayaran dalam penyelenggaraan haji khusus dalam pemeriksaan Rabu (1/10/2025). Kata Budi, penyidik menemukan adanya dugaan penyalahgunaan kuota petugas haji saat melakukan pemeriksaan.

Oleh karena itu, Budi meminta kepada para saksi dalam perkara ini, untuk kooperatif dalam memenuhi panggilan, guna mendukung proses penyidikan perkara ini.

Diketahui, kasus ini bermula dari mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas melalui Kepmen Agama RI Nomor 130 Tahun 2024 tentang Kuota Haji Tambahan 2024, menyatakan bahwa sebanyak 20.000 kuota, dibagikan 10.000 untuk reguler dan 10.000 untuk khusus atau 50 persen untuk reguler dan 50 persen untuk khusus.

Padahal berdasarkan Pasal 64 ayat 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh, kuota tersebut, harusnya dibagikan 92 persen untuk kuota reguler dan 8 persen untuk kuota haji khusus.

Dengan begitu, terjadi pergeseran kuota haji reguler ke haji khusus atas pembagian kuota tersebut. Padahal, pemerintah Arab Saudi, memberikan kuota tambahan kepada Indonesia untuk memangkas waktu antrean calon jemaah.

KPK menduga, ada lobi dari pihak asosiasi haji kepada pihak Kemenag atas pembagian kuota haji. Terlebih, ditemukan pula dugaan pemberian uang kepada pihak Kemenag dari pihak travel haji atas pembagian kuota haji tambahan tersebut. (*)

Redaksi
Author: Redaksi