INDONESIANEWS.ID, SEMARANG – Kasus penembakan terhadap seorang pelajar SMK berinisial GR (17) di Semarang yang dilakukan oleh seorang anggota kepolisian, Aipda Robig, terus menjadi sorotan. Hingga kini, status Aipda Robig masih sebagai terperiksa dan belum ditetapkan sebagai tersangka.
Wakapolda Jawa Tengah, Brigjen Agus Suryonugroho, menjelaskan bahwa proses pidana dan sidang etik terhadap Aipda Robig berjalan paralel. “Proses etik dan pidana berjalan beriringan. Namun, untuk menetapkan tersangka, bukti yang ada harus cukup,” ujar Agus dalam konferensi pers, Senin (2/12/2024).
Agus menegaskan bahwa penyidikan kasus ini diawasi ketat oleh Komnas HAM, Kompolnas, dan Mabes Polri. Menanggapi klaim polisi bahwa GR adalah pelaku tawuran yang melawan saat hendak dibubarkan, pihak keluarga dan sekolah menyebut korban adalah siswa berprestasi yang kecil kemungkinan terlibat dalam aksi tersebut.
Komisi III DPR Panggil Kapolrestabes Semarang
Sementara itu, Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menyatakan pihaknya akan memanggil Kapolrestabes Semarang, Kombes Irwan Anwar, untuk memberikan penjelasan terkait kasus ini. Pemanggilan dijadwalkan berlangsung pada Selasa (3/12/2024).
“Kami akan meminta klarifikasi terkait mekanisme penggunaan senjata api oleh polisi dan apakah prosedur telah diikuti dalam kasus ini. Kapolres perlu dievaluasi karena kasus ini berdampak besar terhadap citra Polri,” tegas Habiburokhman.
Habiburokhman juga mengkritik Kapolrestabes Semarang yang dinilai sulit berkomunikasi. Ia mempertanyakan klaim polisi yang menyebut korban adalah gangster. “Seenaknya klaim gangster, padahal ada nyawa yang hilang,” ujarnya.
Dampak Kasus dan Pengawasan Publik
Kasus ini memicu keprihatinan publik terhadap penggunaan senjata api oleh aparat keamanan. Protokol yang jelas dan audit internal dalam penggunaan senjata api menjadi tuntutan banyak pihak.
Saat ini, keluarga GR telah melaporkan kasus ini ke Polda Jawa Tengah dengan tuduhan pembunuhan. Mereka berharap keadilan dapat ditegakkan melalui proses hukum yang transparan dan adil.
Dengan adanya pengawasan dari lembaga negara seperti DPR dan institusi HAM, diharapkan kasus ini dapat menjadi momentum perbaikan mekanisme kerja aparat kepolisian dalam menjalankan tugasnya. (redaksi)